Hari/Tanggal : Jumat,
17 Februari 2023
Waktu : Pukul 19.00-21.00 WIB
Tema : DIKSI dan SENI BAHASA
Narasumber : Maydearly
Moderator
: Widya
Arema
Pertemuan malam ini akan dipandu
oleh Bu Widya, yang akan memandu materi dengan membagi menjadi 4 sesion, pembukaan,
paparan materi, tanya jawab dan penutup.
Sebelum masuk materi, Narasumber
memulai dengan menyapa dengan untaian kalimat untuk sahabatku tersayang. Sahabat
adalah kata sederhana yang acap kali merapal makna dalam jiwa. Pada sahabat
kerap kita terbangkan kepingan kisah yang tersusun rapi. Sahabat adalah ia yang
paling mengerti hati kita dalam lara nan pekat, meski kerap kita tancapkan
luka, sang sahabat akan membalas dengan seribu pelukan. Terkadang dalam hidup
ada robekan paling tidak sopan yang menenggelamkan kita dalam tangisan, namun
seorang sahabat membawa kita tertatih berjalan dan mengambil sisa tawa untuk
masa depan. Menguatkan lewat doa dan menggenggam dengan Bismillah.
Untaian kalimat di atas yang
disampaikan narasumber memiliki banyak diksi dan seni Bahasa yang sangat indah,
menjadi gambaran awal tentang materi yang akan dibahas malam ini oleh Narasumber
hebat bernama Maydearly, sebuah nama tanpa titik koma, yang menyadur makna
diantara serpihan kata yang melahirkan karya. Hanya lewat sebuah karya dia
pernah berbicara, merupa, menulis, bercerita, dan berdoa sebagai rupa sejarah
untuk masa tua.
Diksi – akar katanya dari bahasa
Latin: dictionem. Kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris
menjadi diction. Kata kerja ini berarti: pilihan kata. Maksudnya,
pilihan kata untuk menuliskan sesuatu secara ekspresif, sehingga tulisan
tersebut memiliki ruh dan karakter kuat, mampu menggetarkan atau mempermainkan
pembacanya.
Dalam sejarah bahasa,
Aristoteles – filsuf dan ilmuwan Yunani inilah yang memperkenalkan diksi
sebagai sarana menulis indah dan berbobot. Gagasannya itu ia sebut diksi puitis
yang ia tulis dalam Poetics– salah satu karyanya. Seseorang akan mampu menulis
indah, khususnya puisi, harus memiliki kekayaan yang melimpah: diksi puitis.
Gagasan Aristoteles dikembangkan fungsinya, bahwa diksi tidak hanya diperlukan
bagi penyair menulis puisi, tapi juga bagi para sastrawan yang menulis prosa
dengan berbagai genre-nya.
William Shakespeare dikenal
sebagai sastrawan yang sangat piawai dalam menyajikan diksi melalui naskah
drama. Ia menjadi mahaguru bagi siapa saja yang berminat menuliskan romantisme
dipadu tragedi. Diksi Shakespeare relevan untuk menulis karya yang bersifat
realita maupun metafora. Gaya penyajiannya sangat komunikatif, tak lekang
digilas zaman.
Mengapa Diksi begitu penting
dalam kajian sebuah bahasa? Sebab banyak keindahan atas sebuah kata yang tak tereja oleh bibir. Diksi
bak pijar bintang di angkasa yang menunjukan dirinya dengan kilauan, mempesona
dan tak membosankan.
Lantas, apakah akan begitu sulit
kita dalam berdiksi? Terkadang banyak penulis yang merasa takut dalam memulai
sebuah tulisan, terkadang lidah kita merasa kelu untuk menulis sesuatu yang
menakjubkan. Ada keraguan yang dibungkam sebelum diterjemahkan dalam bahasa.
Apakah mungkin saya bisa menulis
sebuah bahasa yang indah? Saya merasa takut tulisan saya terdengar garing
ketika dibaca. Akan sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti itu pada awal kita
menulis. Mindset kita yang sedikit dirubah tentang menulis, menulis itu
sederhana sesederhana mengadukan gula dalam gelas kopi.
Akan lebih mudah saat menulis
dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan apa yang kita dengarkan.
Lantas jurus apa yang harus kita
pakai agar kita mampu menulis dengan segala keindahan? Caranya libatkan 5 macam
panca indera kita.
1. Sense of Touch adalah menulis dengan melibatkan indera peraba.
indra peraba dapat digunakan untuk memperinci dengan apik tekstur permukaan
benda, atau apapun. Penggunaan indra peraba ini sangat cocok untuk
menggambarkan detail suatu permukaan, gesekan, tentang apa yg kita rasakan pada
kulit. Aplikasi indra peraba ini juga sangat tepat digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang tidak terlihat, seperti angin misalnya. Atau, cocok
juga diterapkan untuk sesuatu yang kita rasakan dengan menyentuhnya, atau tidak
dengan menyentuhnya.
Contoh:
Pada pori-pori angin yang dingin, aku pernah mengeja rindu yang datang tanpa
permisi
2.
Sense of Smell adalah menulis dengan melibatkan indra penciuman
hal ini akan membuat tulisan kita lebih beraroma. Tehnik ini akan lebih dahsyat
jika dipadukan dengan indra penglihatan.
Contoh:
Di kepalaku wajahmu masih menjadi prasasti, dan aroma badanmu selalu ku
gantungkan dilangit harapan
3. Sense of Taste adalah menulis dengan melibatkan indra perasa.
Merasakan setiap energi yang ada di sekitar kita. Penggunaan indra perasa
sangat ampuh untuk menggambarkan rasa suatu makanan, atau sesuatu yg tercecap
di lidah.
Contoh:
Ku kecup rasa pekat secangkir kopi di tangan kananku, sembari ku genggam Hp
tangan kiriku. Telah terkubur dengan
bijaksana, dirimu beserta centang biru, diriku bersama centang satu.
4.
Sense of Sight adalah menulis dengan melibatkan indra penglihatan
memiliki Prinsip “show, don’t tell". Selalu ingat, dalam menulis, cobalah
menunjukkan kepada pembaca (dan tidak sekadar menceritakan semata). Buatlah
pembaca seolah-olah bisa “melihat” apa yang tengah kita ceritakan. Buat mereka
seolah bisa menonton dan membayangkannya.
Prinsip utama dan manjur dalam hal ini adalah DETAIL. Tulislah apa
warnanya, bagaimana bentuknya, ukurannya, umurnya, kondisinya.
Contoh
: Derit daun pintu mencekik udara ditengah keheningan, membuatku tersadar jika
kamu hanya sebagai lamunan
5.
Sense of hearing adalah menulis dengan melibatkan energi yang kita
dengar. Begitu banyak suara di sekitar kita. Belajarlah untuk menangkapnya.
Bagaimana? Dengarlah, lalu tuliskan. Mungkin, inilah sebab mengapa banyak
penulis sukses yang kadang menanti hening untuk menulis. Bisa jadi mereka ingin
menyimak suara-suara. Sebuah tulisan yang ditulis dengan indra pendengaran akan
terasa lebih berbunyi, lebih bersuara. Selain itu, penulis juga bisa berkreasi
dengan membuat hal-hal yang biasanya tak terdengar menjadi terdengar.
Contoh
: Derum kejahatan yang mendekat terasa begitu kencang. Udara hening, tetapi
terasa berat oleh jerit keputusasaan yang dikumandangkan bebatuan, sebuah
keputusan yang menghakimiku untuk tak lagi merinduimu
Sering kali dalam menulis kita
hanya melibatkan otak kita sebagai muara untuk berpikir tanpa kita dengar,
tanpa kita rasa, tanpa kita raba, jika terkadang sesuatu di pelupuk mata bisa
menjadi rongga untuk mencumbu tulisan kita. Mengapa kita selalu melihat kursi
yang kita duduki dengan pandangan yang begitu sederhana? Sesekali buatlah ia
mempesona dan anggun. Misalkan, “Di atas kursi ini, aku pernah memeluk ratapan
bagaimana menungguimu dengan sebuah doa takdim”. Setiap apapun yang kita lihat,
sesekali kita rasakan, kita raba, bahkan kita ampu kan sebagai sebuah senyawa
yang mampu bersuara.
Untuk melihat respon peserta,
Narasumber memberikan tantangan kepada peserta untuk menuliskan sesuatu yang
terlihat di hadapan dengan melibatkan kelima panca indera. Dan ternyata respon
dari peserta luar biasa, banyak yang mengirimkan kalimat penuh diksi. Diantaranya:
- Sahabat
dalam suka, namun kadang merobek jiwa. Tetap saja sahabat yang menanti dekapan
erat saat tinta dunia menggores tak terperikan. Sahabat relung hati terhampar
luas saat aku membutuhkan pundaknya. Tetaplah bercahaya dalam kegelapan.
Wajahmu terkadang siap menerkam, tapi sayangmu menghujam tajam.
- Tampak
wajah-wajah lugu tanpa dosa di lorong asrama dengan lampu redup redam membawa
kitab kuning di pergelangan tangan.
- Malam ini
memancarkan cahaya harapan. Sekian lama kelam tanpa aroma kasturi. Bau kemenyan
dan dupa berangsur menghilang. Sirna terhapus oleh hadirmu
- Gelas
kopiku kini hanyalah sebentuk ruang hampa tanpa rasa semenjak kau tinggalkanaku
sendiri dalam kefanaan.
- Takut
kehabisan semenit waktu yng tersisa. Ku bergegas menekan tombol demi tombol
yang kdang kala harus selingkuh dalam memilih kata. Tak peduli dengan detak
jantung yang berirama kencang bak kuda pacuan di gelanggang yang berebut
mengejar garis finish... Tolong... Tunggu
aku sedetik lagi
Selanjutnya materi dilanjutkan
dengan sesi tanya jawab. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang dihasilkan dari
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyan yang diajukan peserta, sehingga menambah pengetahuan
tentang diksi dan seni Bahasa yang bisa kita gunakan. Diantaranya salah satu cara
untuk membuat diksi yang indah, yakni mencoba menulis dengan melibatkan kelima
panca indera. Tips bagaimana cara mengembangkan Diksi adalah dengan memperbanyak
muara baca. Semakin banyak bahasa yang kita sentuh, semakin kaya padanan
kata/diksi yang bisa kita jumpai.
Diksi dijabarkan sebagai
kekayaan bahasa, memaknai kata sebagai bentuk keindahan. Layaknya secangkir
Teh, ada hangat yang perlu diresapi karena bahasa adalah jembatan dimana kita
bisa mengerti dan saling memahami.
Diksi adalah bagian dari Seni
Bahasa, karena seni Bahasa itu meliputi menulis, dan berbicara. Diksi tak
melulu sebuah kiasan, karena ia adalah sebuah padanan kata.
Pertemuan malam ini ditutup oleh
narasumber dengan sebuah doa yang penuh diksi, semoga pertemuan ini adalah awal tegukan yang manis,
mengawali cerita di layar kaca, menyusun kepingan kata, dan diseduh dengan rasa
bahagia untuk terus belajar berprosa. Karena bahasa adalah jembatan antara
hujan dan kemarau yang ketika dibubuhi embun ia menjadi pelangi, indah nan
elegan.
Terimakasih Narasumber,
terimakasih moderator, kolaborasi ini melahirkan banyak ilmu, semoga kita bisa mengamalkan
ilmu ini dan menjadi amal jariah buat semuanya. Aamiin